๐ ⋆ ๐ ๐ ๐๐๐ ๐๐พ ๐๐๐ธ๐พ๐๐ ๐บ๐๐๐ ๐๐พ๐๐พ ๐๐ถ๐๐ ๐❁๐ ๐๐ถ๐๐๐, ๐
๐ถ๐น๐ถ๐ฝ๐ถ๐ ๐ถ๐๐๐พ๐๐๐ถ ๐๐ถ๐๐ ๐๐ถ๐
๐พ ๐๐๐๐๐
๐๐๐๐ถ ๐ท๐พ๐๐พ๐ ๐๐๐๐ฉ๐ธ๐พ๐๐. ๐ ๐ ⋆ ๐
แดแดษขษชแดแดแดษด ๊ฑแดษชษดแด แดแดสส แดกแดส'๊ฑ แดแดษดแดแดแด
ษช แดแดษดษขแดสแดแดแดษด สแดสแด สแดษขษช ๊ฑแดสแด
SEE ( Melihat )
Pada bulan September sampai Oktober, sekolahku mengadakan kegiatan Saint Mary Ways, yaitu program pelayanan untuk siswa kelas 9 sebagai bagian dari pembelajaran iman. Dari beberapa pilihan pelayanan yang tersedia, aku memilih menjadi misdinar di Gereja Salib Suci Kemuning. Aku memilihnya karena sejak kecil aku sudah tertarik dengan suasana misa dan ingin tahu seperti apa rasanya membantu pastor secara langsung di altar.
Hari pertama kegiatan diawali dengan pembagian kelompok. Aku sekelompok dengan Arya, karena kami sama² misdinar di gereja salib suci kamuning. Kami berdua kemudian membuat proposal pelayanan yang harus ditandatangani guru agama dan kepala sekolah. Rasanya agak formal, tapi itu membuat kami semakin sadar bahwa kegiatan ini bukan sekadar tugas sekolah biasa.
Kami dijadwalkan untuk melayani tiga kali: Misa Hari Raya pada 14 September pukul 07.30, serta dua misa harian pada 17 September dan 1 Oktober pukul 05.45. Yang paling menantang tentu misa harian, karena kami harus bangun saat langit masih gelap dan udara masih dingin. Tapi anehnya, suasana pagi di gereja terasa menenangkan. Bau dupa, suara langkah umat yang datang satu per satu, dan cahaya lilin membuat suasananya damai.
Tugas kami sebagai misdinar cukup beragam — dari menyiapkan altar, menyiapkan air dan anggur, sampai mengikuti prosesi misa sesuai arahan pastor. Saat Misa Hari Raya, aku mendapat tugas membawa lentera prosesi. Awalnya aku panik karena misa hari raya jauh lebih ramai dan khidmat. Aku takut salah langkah atau menjatuhkan perlengkapan misa. Tapi setelah berdoa dalam hati, aku mencoba fokus dan akhirnya misa berjalan lancar. Setelah selesai, aku merasa lega sekaligus bangga karena bisa melayani dengan baik.
Berbeda dengan Misa Hari Raya, misa harian jauh lebih singkat dan sederhana. Tidak ada nyanyian panjang, tidak banyak pernak-pernik misa, tapi suasananya justru lebih hening dan membuatku merasa dekat dengan Tuhan. Dari pengalaman itu, aku belajar disiplin, tanggung jawab, dan ketulusan dalam melayani.
Selama pelayanan, aku juga banyak memperhatikan umat yang datang. Meskipun misa pagi dimulai sangat awal, mereka tetap hadir dengan semangat. Melihat hal itu membuatku sadar bahwa iman bukan soal waktu, tapi soal niat. Di setiap misa, aku merasakan campuran perasaan gugup, tenang, dan bahagia — perasaan yang jarang aku rasakan dalam kegiatan lain di sekolah.
JUDGE ( Menilai )
Setelah semua pelayanan selesai, aku mulai merenungkan apa yang sebenarnya aku pelajari dari pengalaman ini. Aku sadar bahwa menjadi misdinar bukan hanya soal menjalankan tugas, tetapi juga tentang belajar untuk rendah hati dan siap melayani. Seperti Bunda Maria yang berkata, “jadilah padaku menurut perkataan-Mu,” aku juga belajar menerima tugas dengan hati yang tulus, meskipun terlihat sederhana.
Kadang aku merasa tugasku sepele — seperti menyiapkan anggur atau memegang lilin — tapi ternyata semua itu penting untuk kelancaran misa. Dari situ aku belajar bahwa tidak ada pelayanan yang terlalu kecil di hadapan Tuhan. Selama aku melakukannya dengan niat yang baik, semuanya tetap punya arti.
Aku juga menyadari bahwa melayani bukan cuma soal ritual, tapi tentang sikap hati. Saat aku berusaha melawan rasa malas bangun pagi, atau menahan gugup di depan umat, di situ aku merasa Tuhan hadir. Tuhan ada dalam momen tenang ketika aku bertugas di altar, saat membantu pastur, sampai dalam senyum umat yang datang berdoa dengan khusyuk.
Pengalaman ini mengingatkanku pada Lukas 1:38: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataan-Mu.” Ayat itu terasa nyata dalam pelayanan yang aku jalani. Aku merasa Tuhan sedang mengajarkanku untuk lebih taat dan setia melalui hal-hal sederhana.
ACT ( Tindakan )
Setelah melalui pelayanan ini, aku ingin mengubah cara pandangku dalam kehidupan sehari-hari. Aku ingin lebih disiplin, bukan hanya saat bertugas, tetapi juga dalam belajar dan membantu di rumah. Aku ingin tetap rendah hati dan tidak memilih-milih pekerjaan, sekecil apa pun itu.
Aku juga ingin membawa semangat melayani ini di luar gereja — misalnya dengan membantu teman yang sedang kesulitan, mendengarkan orang yang butuh cerita, atau membantu orang tua tanpa diminta. Aku menyadari bahwa melayani bukan hanya dilakukan di altar, tetapi juga dalam hal-hal kecil setiap hari.
Kegiatan Saint Mary Ways ternyata bukan sekadar proyek sekolah, tetapi pengalaman yang membuatku lebih peka, lebih peduli, dan lebih dekat dengan Tuhan. Aku merasa pelayanan ini menumbuhkan rasa tanggung jawab dan keinginan untuk berbuat baik tanpa pamrih. Jika nanti ada kesempatan untuk melayani lagi, aku pasti ingin ikut, karena di situlah aku merasa menemukan arti iman yang sederhana — mencintai Tuhan lewat tindakan kecil yang tulus.